Hari ini musim penghujan kembali menghampiri desa Maja, yang letaknya memang di daerah pegunungan, alam mulai menyerang tanahku ini dengan butiran-butiran airnya yang keluar dari moncong awan disertai dentuman petir yang sangat membuat telingaku sakit. terus menyerang bertubi-tubi tanpa henti, seperti Mussolini membantai D’Annunzio. Mengkarantina-kan orang-orang untuk tidak beraktifitas seharian penuh. pagi ini pun aku terlalu malas untuk memulai hari dengan penuh semangat seperti pejuang ‘45, karena hujan yang terus menerus mengguyur tanpa henti, mengikis tanah sedikit demi sedikit. Air adalah pondasi bagi setiap aspek kehidupan, meski memang banyak saudara-saudara kita yang masih kekurangan air di daerah tempat tinggalnya disebabkan ketidak adaannya sebuah jalur air yang sangat memadai untuk dikonsumsi sehari-hari. melihat tata letak desa maja yang notabene sudah menjadi sub-kabupaten dari kabupaten majalengka, alangkah terkejutnya bila tanah kelahiran saya, yang kaya akan tumbuh-tumbuhan ternyata kekurangan air bersih untuk dikonsumsi setiap hari, bahkan setiap saat padahal letak sumber mata air tidak begitu jauh dari letak desa maja, khusunya maja selatan. padahal jalur air rumah saya satu jalur dengan jalur air untuk ke kantor kecamatan dan rumah sakit, yang sangat memerlukan banyak air bersih. tanah yang seharusnya subur di musim penghujan, kini menjadi kering di musim hujan dan kerontang di musim kemarau. ada apa dengan semua ini ? kenapa terjadi ditanah kelahiranku? apakah karena uang iuran yang hanya dua ribu rupiah saja perbulannya? padahal kalaupun harus bayar perkubik air untuk upeti saya akan senang membayarnya selama kebutuhan air sehari-hari, sedetik-detik dan setiap saat dapat terpenuhi dengan sewajarnya, tapi toh tau apa kita?!...
Atau mungkin saya bukan orang penting yang punya kuasa dalam segala intruksi kemasyarakatan, sehingga kebutuhan primer saya diabaikan begitu saja oleh sang “Operator” air? (masih pantaskah dia saya sebut Operator? Blluaaah...), ingin hasratku untuk membenarkan semua ini, semua jalur kebutuhan primer di tanah kelahiranku ini berjalan sesuai kuota yang dibutuhkan, tapi toh tetap, bisa apa kita?!... ini mungkin hanya sebuah argumen basi yang tak penting bagi khalayak, tetapi dalam ketidak pentingan ini ada suatu hal yang sangat penting untuk kita luruskan, saya sadar argumen saya tak akan pernah didengar oleh pihak manapun karena argumen saya bukanlah sebuah kitab suci yang tak lekang bantahan!. maraneh pasti nyangka aing gelo tutulisan jiga kieu teu pararuguh. tapi teu nanaon,anggap wae ieu surat ti jelema nu di pika bogoh ku maraneh! karena dengan beginilah semua kekesalan saya pada laju sistem kapitalis masa kini bisa saya tumpahkan, meski mungkin bagi banyak orang itu menyalahi KUHP(yang dianggap banyak orang sebagai “Kitab Sakti”, cuuih...). dan tetap sepeti kata saya tadi di atas, BISA APA KITA???!...
0 Komentar
Penulisan markup dan tata cara berkomentar